KEBUDAYAAN
|
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Ralph Linton menjelaskan bagaimana
kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari yaitu “Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari
cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau
lebih diinginkan.”
Tiap masyarakat mempunyai
kebudayaan, bagimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah
makhluk berbudaya dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan.
Tiap masyarakat mempunyai suatu
kebudayaan yang berbeda dari kebudyaan masyarakat lin dan kebudayaan itu
merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki
bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian
kepada lingkungan tertentu.
Telah lama manusia terarik pada
kebiasaan-kebiasaan atau kebudayaan dari manusia lainnya. Namun baru lebih
kurang dalam 100 tahun terakhir ini, studi tentang kebudayaan manusia
diterapkan sedemikian sehingga studi ini dapat disebut suatu studi yang ilmiah.
Sejak 100 tahun yang lampau, para
peminat mengenai kebudayaan dan masyarakat lain, menjadi sadar bahwa jika
mereka mau menghasilkan karya-karya yang bernilai ilmiah, maka mereka harus
mempelajari pokok perhatiannya menurut cara yang telah dilakukan oleh
ilmuwan-ilmuwan di bidang ilmu lainnya yaitu dengan cara yang sistematisdan
melalui observasi yang tidak berat sebelah. Untuk menggambarkan
kebudayaan-kebudayaan secara lebih tepat dan benar, para ahli antropologi mulai
hidup ditengeh-tengeh masyarakat yang dipelajarinya, sehingga mereka dapat
melakukan pengamatan bahkan dapat ikut ambil bagian dalam kejadian-kejadian
penting dari masyarakat bersangkutan.
Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamanya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Kesimpulan dari pengertian
Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi system idea atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
1.2
Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang
mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai
berikut:
1.
Melville
J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
a.
alat-alat
teknologi
b.
sistem
ekonomi
c.
keluarga
d.
kekuasaan
politik
- Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
v sistem norma sosial yang
memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan alam sekelilingnya
v organisasi ekonomi
v alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
v organisasi kekuatan (politik)
1.3
Wujud dan komponen
1. WUJUD
Menurut J.J. Hoenigman, wujud
kebudayaan dibedakan menjadi tiga yaitu :
☺ Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang
sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan
gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu
berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat
tersebut.
☺ Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
☺ Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat,
antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan
yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah
kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
2. Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut,
kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
- Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
- Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
1.4
Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya dapat
terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.
Perubahan sosial budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman
mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Perubahan
sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti
perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti
bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh
kebudayaan masyarakat lain.
Ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan sosial:
1.
tekanan
kerja dalam masyarakat
2.
keefektifan
komunikasi
3.
perubahan
lingkungan alam.
Perubahan budaya juga dapat timbul
akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak
dengan kebudayaan lain.
Contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing
inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
1.5
Penetrasi Kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi
kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi
kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
1.
Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan
jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut
tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat
setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya
unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.
Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan
sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India.
Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan
sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan
Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan
yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda
dengan kebudayaan asli.
2.
Penetrasi
kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan
cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan
disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak
keseimbangan dalam masyarakat. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah
budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan
Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan
Indonesia.
1.6
Cara Pandang Terhadap Kebudayaan
A.
Kebudayaan
Sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami
gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad
ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya
ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang
dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban"
sebagai lawan kata dari "alam".
Menurut cara pikir ini, kebudayaan
satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti
lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan
merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti
misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik
klasik,
sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang
mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai
contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang
"berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional
dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul
anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata
"kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang
eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur
norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang
memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan"
disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang
"dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan"
dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan
elemen dari kebudayaan tingkat
tinggi
(high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik
sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak
berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan-
dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai
perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan
menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat
kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural
way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial
menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka
menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan
"kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki
kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan
beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop
kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi
oleh banyak orang.
B. Kebudayaan
sebagai "Sudut Pandang Umum"
Selama Era Romantis, para
cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli
terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis
untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari
etnis minoritas melawan Kekaisaran
Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut
pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya
lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak
dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya
pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak
berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."
Pada akhir abad ke-19, para
ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang
lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap
manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta
kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang
sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian
oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi
popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks
pekerja organisasi atau tempat bekerja.
C.
Kebudayaan
Diantara Masyarakat
Sebuah kebudayaan besar biasanya
memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur),
yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan
kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,
Ada beberapa cara yang dilakukan
masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar
perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran
yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi
antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.
Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya
asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang
berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model
yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok
minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa
bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur
dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan
imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing
dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
D.
Kebudayaan
Menurut Wilayah
Seiring dengan kemajuan teknologi
dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia
saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut
juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama’
Contoh
: Kebudayaan
Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya.
Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat".
Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan
banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia.
Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini
juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen,
meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.
No comments:
Post a Comment