BAB I
PENDAHULUAN
Nabi mengidentifikasikan dirinya
sebagai mu’allim (pendidik). Nabi sebagai penerima wahyu Al-Quran yang bertugas
menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat Islam kemudian dilanjutkan
dengan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut. Hal ini pada intinya
menegaskan bahwa kedudukan Nabi sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah
SWT.
Pendidik dalam lingkungan keluarga
adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa
awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak
mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup dan
keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya.
Pendidik di lembaga pendidikan
persekolahan disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah
sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di
perguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Namun guru bukan hanya menerima
amanat dari orang tua untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang
memerlukan bantuan untuk mendidiknya.
Pendidik adalah mereka yang terlibat
langsung dalam membina, mengarahkan dan mendidik peserta didik, waktu dan
kesempatannya dicurahkannya dalam rangka mentransformasikan dan
menginternalisasikan nilai termasuk pembinaan akhlak mulia dalam kehidupan
peserta didik. Dengan demikian waktu dan kesempatannya dihabiskan untuk
mendidik peserta didiknya, sehingga dia tidak mempunyai waktu lagi untuk
berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
1.
Pengertian Pendidik
a. Secara Etimologi
Secara
etimologi, dalam konteks pendidikan Islam pendidik disebut dengan murabbi,
mu’allim, dan muaddib. Kata murabbi berasal dari kata rabba,
yurabbi. Kata mu’allim isim fail dari ‘allama, yu’allimu
sebagaimana ditemukan dalam Al-Quran (Q.S. Al-Baqarah:31), sedangkan kata muaddib
berasal dari addaba, yuaddibu, seperti sabda Rasul: “Allah
mendidikku, maka Dia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”.
Ketiga
term itu, mu’allim, murabbi, muaddib, mempunyai makna yang berbeda sesuai
dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan
makna.
Kata
atau istilah “murabbi” misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang
orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau
rohani. Pemeliharaan seperti initerlihat dalam proses orang tua membesarkan
anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar
anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak yang
terpuji.
Sedangkan
untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan
aktifitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan
(pengajaran), dari seseorang yang tahu kepada orang yang tidak tahu.
Adapun
istilah “muaddib”, menurut Al- Attas, lebih luas dari istilah “mu’allim”
dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
b.
Secara Terminologi
Para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang
pendidik.
1)
Zakiah Daradjat, berpendapat
bahwa pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap
dan tingkah laku peserta didik.
2)
Marimba, beliau mengartikan
sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena
hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik.
3)
Ahmad Tasir, mengatakan bahwa
pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.
Sebagaimana teori Barat, pendidik
dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]
Pendidik
berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab member pertolongan pada
peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya,
mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu melaksanakan tugas sebagai
makhluk social dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[2]
Pendidik pertama dan utama adalah
orangtua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan
perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung
kepada pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung
merupakan cermin atas kusuksesan orangtua juga.
Pendidik disini adalah mereka yang
memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu
di sekolah.[3] Orangtua sebagai pendidik pertama Dan
utama terhadap anak-anaknya, tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam
mendidik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan
efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara
alamiah. Oleh karena itu, anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah.
Penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti melepaskan tanggung
jawab orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orangtua tetap
mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.
2.
SYARAT SAH PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan,
bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam
pendidikan Islam apabila memenuhi dua criteria berikut :
a.
Alim yaitu mengetahui betul
tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu
mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah.
b.
Adil riwayat
yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil,
seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas
mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga pendidik harus mampu
menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan
ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah
yang diterima anak didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang
berujung pada kesesatan.[4]
3.
KEDUDUKAN PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidik adalah spiritual father
(bapak rohani), bagi peserta didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu,
pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu,
pendidik memiliki kedudukan tinggi. Dalam beberapa Hadits disebutkan: “Jadilah
engkau sebagai guru, atau pelajar atau pendengar atau pecinta, dan Janganlah
engkau menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”. Dalam Hadits
Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebi berharga
ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat
dengan derajat seorang Rasul. Al-Syawki[5]
bersyair:
“Berdiri dan hormatilah guru dan
berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa Hadits
Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik
disebut sebagai orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah
setahun (perhatikan QS. At-Taubah:122).selanjutnya Al-Ghazali menukil dari
perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala
zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya
keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang,
sebab: pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan
(baik binatang buas maupun binatang jinak)[6]
kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.[7]
4.
TUGAS PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik
yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan
hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan
Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa , pendidik diidentikan
dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu
(dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya
ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.
Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai
kepribadian yang utuh, yang
karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan
oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya seorang pendidik
bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau
kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan,
pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas
pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu: [8]
a.
Sebagai instruksional (pengajar),
yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang
telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program
dilakukan.
b.
Sebagai educator (pendidik),
yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil
seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
c.
Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan kepada
diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai
masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik
dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu
dapat berupa:
1)
Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar
seperti memerhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta
didik.
2)
Membangkitkan gairah peserta
didik.
3)
Menumbuhkan bakat dan sikap
peserta didik yang baik.
4)
Mengatur proses belajar
mengajar yang baik.
5)
Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan
yang mempengaruhi proses mengajar.
6)
Adanya hubungan manusiawi dalam
proses belajar mengajar.
Keutamaan seorang pendidik
disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang
pendidik hampir sama dengan tugas seorang Rasul.
a)
Tugas secara umum, adalah :
Sebagai “warasat al-anbiya”,
yang pada hakikatnya mengemban misi rahmatal li al-alamin, yakni suatu
misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna
memperoleh keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada
pembentukan kepribaian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan
bermoral tinggi.
Selain itu tugas yang utama adalah,
menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub
kepada Allah. Sejalan dengan ini Abd al-Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas
pendidik pertama, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih,
pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran yakni
meng-internalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama
kepada manusia.
b)
Tugas secara khusus, adalah :
Ø
Sebagai pengajar (intruksional)
yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang
telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
Ø
Sebagai pendidik (edukator)
yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan
kamil , seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
Ø
Sebagai pemimpin (managerial),
yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang
terkait. Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
5.
KOMPETENSI PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
a.
Kompetensi
Personal Religius
Kemampuan dasar
(kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis,
artinya pada dirinya melekat nilai-nilai lebih yang hendak diberikan kepada
peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, keadilan, musyawarah, kedisiplinan.
Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi pemindahan
penghayatan nilai-nilai antara pendidik dan peserta didik baik langsung maupun
tidak langsung.
b. Kompetensi Sosial
Religius
Kemampuan dasar kedua bagi
pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial
selaras dengan ajaran islam.
c. Kompetensi Profesional
Religius
Kemampuan dasar yang
ketiga ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional,
dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu
mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam
perspektif Islam.
Kompetensi diatas dapat
dijabarkan dalam kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
1) Mengetahui
hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi
tentang materi yang diajarkan.
2) Menguasai
keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didik.
3) Mempunyai
kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan
konteks komponen-komponen secara keseluruhan.
4) Mengevaluasi
proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.
5) Memberi hadiah dan hukiman sesuai
dengan usaha dan upaya yang dicapai anak didik.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Pendidik disini adalah mereka yang
memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu
di sekolah. Orangtua
sebagai pendidik pertama Dan utama terhadap anak-anaknya, tidak selamanya
memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena
kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik
jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Oleh karena itu, anak lazimnya
dimasukkan ke dalam lembaga sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga
sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orangtua sebagai pendidik yang
pertama dan utama, tetapi orangtua tetap mempunyai saham yang besar dalam
membina dan mendidik anak kandungnya.
Sesungguhnya seorang pendidik
bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau
kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan,
pengarah fasilitator dan perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung
: Remaja Rosdakarya, 1992
Suryosubrata B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, Jakarta
: Bina Aksara, 1983
Ahmad Ar Rifa’I,
Takhyirah Mukhtashor. Tanpa Tahun
M. Athiyah
al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan
Islam, terj. Bustami a. Ghani, Jakarta : Bulan Bintang, 1987
Abdul Mujib. Kepribadiaan dalam Psikologi Islam,
Jakarta : Rajawali Press, 2006
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali,
Ihy’ulum al-Din, terj. Ismail Ya’qub, Semarang : Faizan, 1979
Roestiyah NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Jakarta :
Bina Aksara, 1982
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 74-75.
[2] Suryosubrata B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta
: Bina Aksara, 1983), hal. 36
[3] Ahmad Tafsir, Op. Cit.,
hal. 75
[4] Ahmad Ar Rifa’I, Takhyirah
Mukhtashor. Tanpa Tahun, hal. 10
[5] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
Bustami a. Ghani, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), hal. 135-136.
[6] Abdul Mujib. Kepribadiaan dalam Psikologi Islam,
(Jakarta : Rajawali Press, 2006), hal. 109-110.
[7] Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali, Ihy’ulum al-Din, terj. Ismail Ya’qub, (Semarang : Faizan, 1979),
hal. 65,68,70.
[8] Roestiyah NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta
: Bina Aksara, 1982), hal. 86.